Tradisi
umat Islam Indonesia pasca – Idulfitri adalah mengadakan acara halal
bihalal, momentum ini berlangsung di bulan Syawal, bahkan bisa lebih
dari sebulan. Kegiatan ini biasa diadakan di perumahan, di kantor - kantor,
perhotelan atau lembaga – lembaga lainnya. Dalam pola hubungan dan
pergaulan hidup antar insan, di sinilah menjadi kesempatan bagi sang
bos, para staf dan para bawahan menyatu penuh rasa gembira dan bahagia
antara satu dengan yang lainnya. Mengingat hal ini tak lepas dari
rangkaian ibadah shaum dan bulan Ramadhan maka konteks halal
bihalal lazim pula dipertautkan dalam rumusan sebagai bagian dari
tuntutan orang yang membangun semangat taqwa.
I. Ciri Orang Taqwa.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran (3:134 – 135):
“(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
“Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui.”
Dijelaskan
ciri-ciri orang bertaqwa adalah mereka yang suka : menafkahkan
hartanya, menahan amarahnya, memaafkan orang lain, mencintai orang yang
berbuat baik, dan senantiasa memohon ampun bila berbuat dosa/salah alias
kekejian.
Dari
motivasi kekaqwaan tersebut tergambar bahwa ajaran Islam menolak dendam
dan dengki terhadap sesama. Landasan pergaulan umat lebih tegas pada
pertahanan ikatan Silaturahim yang merupakan ajaran agama Islam. Dengan
kaitan itu Nabi Muhammad SAW bersabda : “Dua orang muslim yang
bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya
diampuni oleh Allah SWT, sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud)
Wajar
saja bila halal bihalal pada sisi lain mengacu pada pengokohan pilar
silaturrahmi. Pilar itu pun sangat relevan dengan firman Allah SWT,
dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raaf(7 : 199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Misi
pengokohan itu taklah cukup dengan saling berkunjung atau berkirim
ucapan selamat Idulfitri, namun perlu juga kesempatan untuk berkumpul
dan bertemu secara bersama – sama guna mengakrabkan hubungan
persaudaraan dalam merekatkan ukhuah Islamiyah. Olah H.A. Fuad Said
dalam bukunya “Hari besar Islam” menandaskan bahwa halal bihalal amat berguna dalam meningkatkan ukhuah dan silaturahim.
II. Kemenangan, Ketentraman.
Islam adalah agama yang membawa ajaran yang membahagiakan manusia, agar tenang dan tentram secara
lahir dan batin dalam kehidupan baik didunia maupun di akhirat kelak.
Ibadah puasa itu sendiri adalah juga menjadi medium untuk pelakunya
melatih keseimbangan diri secara lahir dan bathin. Di hari kemenangan
Idul Fitri yang kita jalani sekarang ini setelah berhasil menjalankan
ibadah puasa selama sebulan penuh, berhasil menahan lapar dan haus, dan
yang terpenting lagi, bahwa umat islam membuka maaf kepada siapa pun
karena maaf sebahagian dari taqwa.
Dalam
konteks kehidupan sesanak – sebangsa, bila menjadi cerminan hidup
bangsa ini, tentu di antara kita tak akan mudah dikipasi, dikompori,
diprovokasi oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab yang
bertujuan jelas – jelas merusak hubungan dan memecah belah kesatuan dan
persatuan bangsa ini. Di sisi lain, kelembutan dan kesabaran yang
menyelimuti hati orang yang bertaqwa tentu akan membangkitkan semangat
ringan tangan untuk menolong sesama, yang dilandasi kasih sayang, yang
menganut pemahaman bahwa Islam adalah agama yang ramah, bukan pemarah. Yang senantiasa harus dibangun dan dijaga adalah keramahan, dan bukan kemarahan.
Akan
tetapi, jangan lalu kita lalai dan sibuk dalam tema halal bihalal
sebagai sebuah pelaksanaan membangun momentum kebajikan di antara sesama
manusia, karena hendaklah kita juga berupaya untuk membangun rasa yang
berwawasan pengendalian diri dan bersabar tanpa melalaikan pendekatan
diri kepada Allah SWT. Adalah sudah menjadi rumusan, bila tetap
konsisten mengingat dan menjalin kedekatan dengan Allah maka pada saat
bersamaan kita pun dituntut untuk menjadi insan yang pemaaf dan menjauhi
sikap benci dan dengki. Dengan begitu kita akan berpotensi dan
berpeluang menjadi orang yang senantiasa melakukan tekad perbaikan diri
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan bangsa.
III. HARAPAN BERSAMA
Pasca halal bihalal dan Idulfitri kita berharap :
1. Setiap
orang berupaya terus menerus untuk menjalin silaturahmi dan ukhuwah.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah, dan hari akhir maka hendaklah
memelihara hubungan (Silaturahmi)” (Muttafaqun’alaih)
2. Setiap orang muslim menjaga hak dan kewajiban dengan sesamanya. Hak muslim dengan muslim lainnya ada lima, Yaitu :
- Mengucapkan salam,
- Menjenguk orang sakit,
- Mengiringkan jenajah,
- Menghadiri undangan, dan
- Mendoa-kan orang bersin.(HR. Bukhari – Muslim)
3. Jangan saling membelakangi
4. Jangan saling membenci
5. Jangan memutuskan hubungan silaturahim.
Bila
semangan Ramadhan, Idulfitri dan halal bihalal terus berlanjut maka
harapan yang hendak diraih adalah bahwa kita bermartabat. Sedangkan
tujuan akhir yang sejatinya dicapai dari tema halal bihalal itu adalah :
kita menjadi hamba Allah yang tetap utuh hidup bersaudara. Fattaqullaha
mastatha’tum.
Tradisi itu baik
Satu
lagi yang sempat “menghilang” yaitu event Halal bihalal yang juga
sempat menjadi warna khas bagi masyarakat kita. Ini adalah merupakan
tradisi yang tidak pernah disyari’atkan dalam islam. Akan tetapi,
lantaran tema berhalal bihalal adalah menjadi kelaziman dan dipandang
baik, tentu saja tradisi halal bihalal itu menjadi baik adanya.
Kalau
kita mau jujur, dalam konteks sekarang halal bihalal itu agaknya malah
menjadi perlu untuk dilakukan. Sebab, kondisi objektif yang tengah
berkembang di masyarakat kita kadang terlahir sebuah suasana yang
bernuansa “haram mengharamkan”. Bukankah saling salah-menyalahkan,
tuding – menunding, tokoh – menokoh seakan menjadi “tradisi” yang amat
memalukan untuk dilukiskan. Rasa kasih sayang yang bertemakan welas asih
dan penuh kekariban seakan tersekat oleh perguliran zaman yang kerap
memakan korban manusia akibat ketamakan.
Maka
dengan hadirnya kita di bulan yang baik ini menjadi kesempatan terbaik
untuk kita saling bertegur sapa, bertutur santun, dan kasih mengasihi
dalam sebuah ikatan simpul yang penuh pengertian dan pemaafan :
Silaturahmi. “dan permaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu….”(QS. 2:237).
Melalui
istilah “halal dengan halal” itu tersimpan makna yang dalam untuk
menjadi pesan agung kehidupan dari Abu Naum, “ Wahai anak manusia,
sukalah kalian kepada hal-hal yang halal, bukan atau hindarilah
tema-tema yang haram atau syubhat dengan sekuat daya mampumu”.
Kalimat
halal bihalal, sadar atau tidak, adalah sebagai perwujudan sederhana
dari pesan Al-Qur’an yang menjadi sandaran rumusan dakwah kita dalam
frame : “amar ma’ruf nahi munkar yaitu suka mengerjakan yang ma’ruf
(Baik,bijak) dan rela meninggalkan berbagai bentuk kemunkaran :
sebagaimana misi islam yang menjadi rahmat bagi sekalian umat.
Nafsu Kembali Berkomplot
Bulan
Syawal dimaknakan sebagai bulan peningkatan. Apa artinya? Jika dalam
bulan Ramadhan mungkin mengatur dan mengendalikan diri dari
kecenderungan hawa nafsu mungkin tak terlalu sedikit, lantaran memang
terbangun suasananya, tetapi begitu selepas Ramadhan? Di sinilah letak
perjuangannya : adakah kita mempu menjaga nilai – nilai yang terbangun
selama bulan pelatihan (riyadhah) itu?
Lepas
Ramadhan, nafsu-nafsu itu pun kembali “berkomplot” untuk menyerang,
membujuk, dan mengajak kerjasama dengan kita, yang jika salah-salah
kitapun akan tersesat menjadi hamba hawa nafsu. Tawaran nafsu memang
senantiasa menakjubkan: win-win solution! Luar biasa dan menggiurkan.
Nafsu itu, nafsu apa saja, dan salah satunya termasuk nafsu kekuasaan.
Semarak adu pengaruh dalam tema-tema kekuasaan biasanya agak terhenti di
saat Ramadhan – dengan dalih menghormati bulan suci – dan sesudah itu
pertarungan rebut pengaruh kekuasaan bakal marak lagi. Untuk itu
dibutuhkan stamina diri.
Jika
kita menjalankan ibadah puasa berikut amalan pengiringnya dengan baik,
benar, ikhlas dan sungguh-sungguh (iimanan wahtisaban) maka kita tak
akan mudah tergoyahkan oleh tiupan angin yang menghempas.
Supaya
nafsu yang berkomplot itu tak mendekat di diri ini, padahal kita baru
saja merebut kemenangan di bulan Ramadhan, cobalah bangun kesadaran
diri. Bahwa keberhasilan Ramadhan terhadap diri itu adalah :
1. Menemukan hakikat diri,
2. Tumbuhnya kekuatan bathin,
3. Menemukan semerbak cinta,
4. Kerinduan pada hal-hal yang mulia, dan
5. Merasa lezatnya hidup dalam ibadat.
Inilah
ukuran untuk teraihnya kemenangan itu. Dari pemilikan itu, kita pun
akan selalu optimis dalam melanjutkan perjuangan hidup: melawan
komplotan nafsu yang beragam rupa itu. Semoga kita termasuk orang – orang
yang menang.
No comments:
Post a Comment