Ayoo...berwisata ke Pakpak Bharat..., Negeri seribu Air Terjun di Atas Awan

Monday, 27 April 2015

HALAL BIHALAL

Tradisi umat Islam Indonesia pasca – Idulfitri adalah mengadakan acara halal bihalal, momentum ini berlangsung di bulan Syawal, bahkan bisa lebih dari sebulan. Kegiatan ini biasa diadakan di perumahan, di kantor -  kantor, perhotelan atau lembaga – lembaga lainnya. Dalam pola hubungan dan pergaulan hidup antar insan, di sinilah menjadi kesempatan bagi sang bos, para staf dan para bawahan menyatu penuh rasa gembira dan bahagia antara satu dengan yang lainnya. Mengingat hal ini tak lepas dari rangkaian ibadah shaum dan bulan Ramadhan maka konteks halal bihalal lazim pula dipertautkan dalam rumusan sebagai bagian dari tuntutan orang yang membangun semangat taqwa.
I.               Ciri  Orang Taqwa.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran (3:134 – 135):

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

Dijelaskan ciri-ciri orang bertaqwa adalah mereka yang suka : menafkahkan hartanya, menahan amarahnya, memaafkan orang lain, mencintai orang yang berbuat baik, dan senantiasa memohon ampun bila berbuat dosa/salah alias kekejian.
Dari motivasi kekaqwaan tersebut tergambar bahwa ajaran Islam menolak dendam dan dengki terhadap sesama. Landasan pergaulan umat lebih tegas pada pertahanan ikatan Silaturahim yang merupakan ajaran agama Islam. Dengan kaitan itu Nabi Muhammad SAW bersabda : “Dua orang muslim yang bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampuni oleh Allah SWT, sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud)
Wajar saja bila halal bihalal pada sisi lain mengacu pada pengokohan pilar silaturrahmi. Pilar itu pun sangat relevan dengan firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raaf(7 : 199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Misi pengokohan itu taklah cukup dengan saling berkunjung atau berkirim ucapan selamat Idulfitri, namun perlu juga kesempatan untuk berkumpul dan bertemu secara bersama – sama guna mengakrabkan hubungan persaudaraan dalam merekatkan ukhuah Islamiyah. Olah H.A. Fuad Said dalam bukunya “Hari besar Islam” menandaskan bahwa halal bihalal amat berguna dalam meningkatkan ukhuah dan silaturahim.
II.             Kemenangan, Ketentraman.
Islam adalah agama yang membawa ajaran yang membahagiakan manusia, agar tenang dan tentram  secara lahir dan batin dalam kehidupan baik didunia maupun di akhirat kelak. Ibadah puasa itu sendiri adalah juga menjadi medium untuk pelakunya melatih keseimbangan diri secara lahir dan bathin. Di hari kemenangan Idul Fitri yang kita jalani sekarang ini setelah berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, berhasil menahan lapar dan haus, dan yang terpenting lagi, bahwa umat islam membuka maaf kepada siapa pun karena maaf sebahagian dari taqwa.
Dalam konteks kehidupan sesanak – sebangsa, bila menjadi cerminan hidup bangsa ini, tentu di antara kita tak akan mudah dikipasi, dikompori, diprovokasi oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab yang bertujuan jelas – jelas merusak hubungan dan memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa ini. Di sisi lain, kelembutan dan kesabaran yang menyelimuti hati orang yang bertaqwa tentu akan membangkitkan semangat ringan tangan untuk menolong sesama, yang dilandasi kasih sayang, yang menganut pemahaman bahwa Islam adalah agama yang ramah, bukan pemarah.  Yang senantiasa harus dibangun dan dijaga adalah keramahan, dan bukan kemarahan.
Akan tetapi, jangan lalu kita lalai dan sibuk dalam tema halal bihalal sebagai sebuah pelaksanaan membangun momentum kebajikan di antara sesama manusia, karena hendaklah kita juga berupaya untuk membangun rasa yang berwawasan pengendalian diri dan bersabar tanpa melalaikan pendekatan diri kepada Allah SWT. Adalah sudah menjadi rumusan, bila tetap konsisten mengingat dan menjalin kedekatan dengan Allah maka pada saat bersamaan kita pun dituntut untuk menjadi insan yang pemaaf dan menjauhi sikap benci dan dengki. Dengan begitu kita akan berpotensi dan berpeluang menjadi orang yang senantiasa melakukan tekad perbaikan diri baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan bangsa.
III.           HARAPAN BERSAMA
Pasca halal bihalal  dan Idulfitri kita berharap :
1.              Setiap orang berupaya terus menerus untuk menjalin silaturahmi dan ukhuwah. “Barang siapa yang beriman kepada Allah, dan hari akhir maka hendaklah memelihara hubungan (Silaturahmi)” (Muttafaqun’alaih)
2.              Setiap orang muslim menjaga hak dan kewajiban  dengan sesamanya. Hak muslim dengan muslim lainnya ada lima, Yaitu :
-       Mengucapkan salam,
-       Menjenguk orang sakit,
-       Mengiringkan jenajah,
-       Menghadiri undangan, dan
-       Mendoa-kan orang bersin.(HR. Bukhari – Muslim)
3.              Jangan saling membelakangi
4.              Jangan saling membenci
5.              Jangan memutuskan hubungan silaturahim.
Bila semangan Ramadhan, Idulfitri dan halal bihalal terus berlanjut maka harapan yang hendak diraih adalah bahwa kita bermartabat. Sedangkan tujuan akhir yang sejatinya dicapai dari tema halal bihalal itu adalah : kita menjadi hamba Allah yang tetap utuh hidup bersaudara. Fattaqullaha mastatha’tum.

Tradisi itu baik
Satu lagi yang sempat “menghilang” yaitu event Halal bihalal yang juga sempat menjadi warna khas bagi masyarakat kita. Ini adalah merupakan tradisi yang tidak pernah disyari’atkan dalam islam. Akan tetapi, lantaran tema berhalal bihalal adalah menjadi kelaziman dan dipandang baik, tentu saja tradisi halal bihalal itu menjadi baik adanya.
Kalau kita mau jujur, dalam konteks sekarang halal bihalal itu agaknya malah menjadi perlu untuk dilakukan. Sebab, kondisi objektif yang tengah berkembang di masyarakat kita kadang terlahir sebuah suasana yang bernuansa “haram mengharamkan”. Bukankah saling salah-menyalahkan, tuding – menunding, tokoh – menokoh seakan menjadi “tradisi” yang amat memalukan untuk dilukiskan. Rasa kasih sayang yang bertemakan welas asih dan penuh kekariban seakan tersekat oleh perguliran zaman yang kerap memakan korban manusia akibat ketamakan.
Maka dengan hadirnya kita di bulan yang baik ini menjadi kesempatan terbaik untuk kita saling bertegur sapa, bertutur santun, dan kasih mengasihi dalam sebuah ikatan simpul yang penuh pengertian dan pemaafan : Silaturahmi. “dan permaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu….”(QS. 2:237).
Melalui istilah “halal dengan halal” itu tersimpan makna yang dalam untuk menjadi pesan agung kehidupan dari Abu Naum, “ Wahai anak manusia, sukalah kalian kepada hal-hal yang halal, bukan atau hindarilah tema-tema yang haram atau syubhat dengan sekuat daya mampumu”.
Kalimat halal bihalal, sadar atau tidak, adalah sebagai perwujudan sederhana dari pesan Al-Qur’an yang menjadi sandaran rumusan dakwah kita dalam frame : “amar ma’ruf nahi munkar yaitu suka mengerjakan yang ma’ruf (Baik,bijak) dan rela meninggalkan berbagai bentuk kemunkaran : sebagaimana misi islam yang menjadi rahmat bagi sekalian umat.

Nafsu Kembali Berkomplot
Bulan Syawal dimaknakan sebagai bulan peningkatan. Apa artinya? Jika dalam bulan Ramadhan mungkin mengatur dan mengendalikan diri dari kecenderungan hawa nafsu mungkin tak terlalu sedikit, lantaran memang terbangun suasananya, tetapi begitu selepas Ramadhan? Di sinilah letak perjuangannya : adakah kita mempu menjaga nilai – nilai yang terbangun selama bulan pelatihan (riyadhah) itu?
Lepas Ramadhan, nafsu-nafsu itu pun kembali “berkomplot” untuk menyerang, membujuk, dan mengajak kerjasama dengan kita, yang jika salah-salah kitapun akan tersesat menjadi hamba hawa nafsu. Tawaran nafsu memang senantiasa menakjubkan: win-win solution! Luar biasa dan menggiurkan. Nafsu itu, nafsu apa saja, dan salah satunya termasuk nafsu kekuasaan. Semarak adu pengaruh dalam tema-tema kekuasaan biasanya agak terhenti di saat Ramadhan – dengan dalih menghormati bulan suci – dan sesudah itu pertarungan rebut pengaruh kekuasaan bakal marak lagi. Untuk itu dibutuhkan stamina diri.
Jika kita menjalankan ibadah puasa berikut amalan pengiringnya dengan baik, benar, ikhlas dan sungguh-sungguh (iimanan wahtisaban) maka kita tak akan mudah tergoyahkan oleh tiupan angin yang menghempas.
Supaya nafsu yang berkomplot itu tak mendekat di diri ini, padahal kita baru saja merebut kemenangan di bulan Ramadhan, cobalah bangun kesadaran diri. Bahwa keberhasilan Ramadhan terhadap diri itu adalah :
1.         Menemukan hakikat diri,
2.         Tumbuhnya kekuatan bathin,
3.         Menemukan semerbak cinta,
4.         Kerinduan pada hal-hal yang mulia, dan
5.         Merasa lezatnya hidup dalam ibadat.
Inilah ukuran untuk teraihnya kemenangan itu. Dari pemilikan itu, kita pun akan selalu optimis dalam melanjutkan perjuangan hidup: melawan komplotan nafsu yang beragam rupa itu. Semoga kita termasuk orang – orang yang menang. 

No comments:

Post a Comment