Ayoo...berwisata ke Pakpak Bharat..., Negeri seribu Air Terjun di Atas Awan

Sunday 26 February 2017

Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional?

Masuknya unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/ Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat berupa (Haviland,1988:263):
  1. Substitusi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya diganti oleh unsur kebudayaan baru yang lebih fungsional, sehingga mengakibatkan hanya sedikit perubahan struktural dari kebudayaan bersangkutan.
  2. Sinkritisme, terjadi ketika sejumlah unsur budaya lama bercampur dengan unsur buaya baru sehingga terbentuk suatu sistem baru yang mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cukup berarti.
  3. Adisi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan ditambahkan pada kebudayaan yang lama, yang dapat mengakibatkan perubahan struktural atau bahkan tidak terjadi perubahan pada budaya lama.
  4. Dekulturasi, terjadi ketika bagian substansial dari suatu kebudayaan menjadi hilang.
  5. Orijinasi, terjadi ketika sejumlah unsur baru tumbuh dari suatu kebudayaan disebabkan oleh perubahan situasi.
  6. Penolakan, terjadi ketika suatu perubahan berlangsung terlalu cepat sehingga sejumlah besar anggota dari suatu budaya tidak mau menerimanya, yang dapat menyebabkan pemberontakan, penolakan sama sekali, atau gerakan kebangkitan.
Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi terjadi bila suatu kebudayaan kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai identitas subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis (Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.
Bentuk-bentuk seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
Sedangkan pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati) tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan derajatnya menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam kehidupan orang-orang Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa pada masa pulau ini masih dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat bukti bahwa kepercayaan lama yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin menguat. Pembuatan candi-candi dan arca-arcanya tidak lain sebenarnya adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja yang telah menyatu dengan dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain dan tidak bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang belum sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada orang-orang Pakpak dahulu.(Sumber : Berbagai Sumber)

No comments:

Post a Comment